Pages

Jumat, 09 November 2012

Coretan Tangan :: Truly...

Abis mbaca, tolong Komentar dan Like-nya yaaaa ^^ keke~
Happy Reading!!!


Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Menulis yang diadakan Penerbit Haru. Info: penerbitharu.wordpress.com

#Seoul
Kalau kita takut melakukan kesalahan, selamanya kita akan berjalan di tempat.

Truly....


Dia tersenyum simpul ketika seorang pria yang berusia akhir empat puluh tahunan yang berdiri di depannya meminta dirinya untuk kembali menirukan kalimatnya. Untuk yang ketiga kalinya. Dan untuk yang ketiga kalinya lagi, dia hanya terdiam. Menatap kosong ke depan.
“Hye Woon-ah, kau baik-baik saja?” tanya Yoon Yong Shin, seorang pria dengan jas hitam rapi yang tertempel di tubuhnya.
Hye Woon mendesah pelan. Ia tidak berani menatap mata kedua orang tuanya yang tengah menatap dirinya cemas. Apalagi menatap Yong Shin yang berdiri tepat di sebelahnya. Ia hanya menatap seorang pria lain, pria yang kini juga menatapnya.
Yong Shin perlahan menggenggam erat jemari Hye Woon. Hye Woon kembali mendesah. Bahkan genggaman pria di sampingnya tak sehangat genggamannya. Begitu pula senyum dan tatapan dari kedua buah mata mereka. Sangat berbeda.
Senyum dan tatapan Yong Shin lembut, namun tetap tidak bisa mengalahkan senyum dan tatapan yang dimiliki Lee Hyeong Min. Mereka berbeda. Setidaknya beberapa kelebihan lebih dimiliki Hyeong Min.
Hye Woon menunduk pelan, mencoba menutupi bulir air matanya yang kini mulai menetes. “Maaf.”
Yong Shin menatap Hye Woon. “Untuk apa?” Tanyanya dengan senyum yang merekah di wajahnya. Ini mungkin hari terbaik untuknya. Tapi bukan untuk Hye Woon.
“Maaf. Tapi aku harus melakukannya.” Ucap Hye Woon lagi. Ia berlari meninggalkan altarnya, dengan dirinya yang masih berbalut gaun putih indah. Tangisnya pecah. Sungguh, kini ia butuh dirinya disampingnya.

**

Gadis itu hanya terdiam di sekitar Cheonggyecheon Waterway. Sudah puluhan pasang mata mengamatinya sedari tadi. Bagaimana tidak? Seorang gadis dengan make-up yang telah luntur dan gaun putih yang mengembang berdiam diri di atas jembatan di saat matahari mulai menenggelamkan dirinya.
“Hye Woon-ah..”
Gadis itu mengenali suara barusan. Dengan segera ia menghapus butiran kristal yang telah membanjiri pipinya. Ia menengok ke belakang dengan senyum kecil di bibirnya, senyum terbaik di saat kondisinya sedang seperti ini.
Pria yang tadi memanggilnya berjalan mendekatinya. Ia menyampirkan jas hitamnya ke punggung Hye Woon yang tak berbalut kain. Ia tersenyum kecil setelah menyentilkan telunjuknya di dahi gadis itu. “Kau benar-benar bodoh. Membuat malu saja.”
Hye Woon terkekeh pelan. Benar, setidaknya kehadiran Hyeong Min bisa membuatnya tenang. Sangat tenang. “Setidaknya aku berhasil menarik perhatian mereka.”
“Kau membuatku khawatir. Untung aku menemukanmu.” Ucap Hyeong Min. Ia menatap lurus ke depan, sikunya ia gunakan sebagai penyangga tubuh bagian atasnya. “Di tempat favorit kita.” Lanjutnya lagi.
“Aku tidak ingin menikah dengannya.” Ucap Hye Won datar.
Hyeong Min mengangguk, “aku tahu. Kalau kau setuju, tentu kau tidak akan lari seperti ini.”
Hye Won tersenyum singkat. Sahabatnya itu memang cerdas. “Oh ya, kau ingat tentang orang yang sering aku ceritakan padamu? Dialah penyebabku menolak Yong Shin.”
“Siapa dia?”
Hye Won menarik nafas panjang. Mungkin kini saatnya ia mengatakan apa yang selama ini ia pendam. Ya, ini saat yang tepat. “Dia adalah dirimu, Lee Hyeong Min.”
“Kenapa kau menyukaiku?” tanya Hyeong Min. Sebenarnya, dalam lubuk hatinya. Hyeong Min tersenyum bahagia. Setidaknya perasaan ini tidak ia simpan sendirian.
Hye Won berbalik menatap Hyeong Min, begitu pula dengan pria itu. “Entahlah. Bukanlah tidak ada alasan pasti untuk kita menyukai seseorang?” ucap Hye Won pelan. Semburat merah terpancar di wajahnya. “Antar aku pulang. Disini sangat dingin.” Lanjutnya.
Hyeong Min tersenyum geli melihat tingkat laku Hye Won yang sedang menahan malu. Kini, ia juga harus mengungkapkan apa yang ia rasakan. “Tunggu aku Kang Hye Won-ssi. Kau tidak mau ayahmu marah, kan?”
Hye Won terus berjalan cepat dengan sepatu kaca yang masih melekat di kakinya. Ia lega, sungguh. Hari ini, tak seburuk yang ia kira.

Aku bersyukur. Kalau saja aku tidak berlari meninggalkan altar tadi siang, mungkin untuk selamanya aku masih akan bungkam tentang perasaanku yang sebenarnya.