Guys, Ada Mission ke-2 dari Oppa & I Love Mission looo...
Okey langsung aja, sebenarnya #Mission2 ini cuma disuruh bikin Love Letter.. Tapi berhubung bingung plus nggak ada kerjaan (padahal lagi semesteran :D) Jadi, iseng aja bikin ceritanya..
Hehe, sorry kalo rada aneh :D
Langsung aja..
#Mission 2 :: Love Letter
Jae Kwon memutar tubuhnya
seirama dengan dentuman nada yang mengalun lewat televisinya. Kali ini berbeda
dengan sebelumnya. Bukan gadis-gadis cantik yang terpampang disana, melainkan sebuah
boyband yang cukup ternama, EXO, yang tengah menari di dalamnya. Ia tak
ingin dipandang rendah oleh Jae In lagi.
“Oppa, kau benar-benar
memalukan. Tidak bisakah kau menari layaknya seorang pria? Oo, atau
jangan-jangan Oppa seorang wanita? Haruskah aku memanggil Oppa, ‘Eonni’?”
Jae Kwon bergidik
mengingat kalimat yang diutarakan Jae In beberapa hari yang lalu. Namun ia
lega. Karena kini, Jae In telah memanggilnya ‘Oppa’ lagi. Ia akan tetap
membuat Jae In memanggil dirinya Oppa, bukan Eonni bahkan Noona.
Ia sedikit merinding dengan panggilan yang terakhir.
“Oppa..”
Jae Kwon kembali bergidik
ketika merasa seperti seseorang sedang memanggilnya. Hentikan pikiran anehmu
Jae Kwon. Hentikan. Hentikan.
“Oppa..”
Baik. Pasti ada
seseorang yang benar-benar memanggilku. Dengan jantung yang masih berdebar, ia memberanikan diri untuk membalik
badannya. “Omo!!” Ucapnya begitu melihat Jae In memasang wajah dinginnya di
depan pintu kamarnya. Jae Kwon tertawa kecil sembari menggaruk bagian belakang
kepalanya yang tidak terasa gatal. “Ada apa?”
Jae In mengaduk isi tas
pinggangnya. Setelah beberapa saat, ia berhasil menemukan apa yang ia cari.
“Ini. Ada yang mengirim surat untukmu.”
“Surat?” Jae Kwon turun
dari tempat tidurnya lalu berjalan ke arah Jae In setelah ia mematikan televisi
super lebarnya. “Dari siapa?”
Jae In menggeleng pelan.
“Frederica? Kau kenal?” Tanyanya kemudian. “Sepertinya ia bukan orang Korea.”
Lanjutnya lagi.
Jae Kwon memutar surat
yang barusan ia dapat. Ia berusaha mengingat siapa itu Frederica. Sepertinya ia
pernah mengenalnya. “O, kau baru pulang?” Jae Kwon melirik jam dindingnya. Jam
tujuh tepat. “Darimana saja?”
“Ha Neul dan Sa Ra
barusan mengajakku ke restoran ramyeon yang baru dibuka di dekat
sekolah. Oppa, lain kali kau harus mencobanya! Ramyeonnya benar-benar
nikmat!” ucap Jae In sambil berbalik, berjalan menjauh menuju istananya
sendiri.
Park Jae Kwon masih
memandangi amplop berwarna biru laut itu. Pikirannya melayang. Terbesit
beberapa siluet peristiwa, tapi ia tak bisa melihatnya secara jelas.
“Oppa, kau tidak menari
bersama SNSD lagi?” Ejek Jae In ketika ia berjalan menuruni tangga.
“Kau benar-benar...” Jae
Kwon tersenyum simpul lalu meluncur bebas ke kasur empuknya. “Frederica?” Jae
Kwon berkata pelan sebelum ia masuk dalam dunia mimpinya. Ia terlalu lelah hari
ini. Sangat lelah.
“Jane, apa yang harus
kita lakukan?” suara Johny bergetar. Air mata mulai menggenang di pelupuk
matanya.
“Oppa, kau kenapa?
Tenanglah. Kita tunggu apa kata dokter.” Seorang gadis yang seumuran dengannya
menepuk punggungnya pelan. Sebenarnya ia juga takut, tapi ia tak ingin membuat
saudaranya bertambah takut.
“Dimana Appa dan
Eomma?” ucap Jhon lagi, lebih pelan. “Lalu dimana orang tua gadis itu?”Johny
mulai menangis lagi. Ia mengingat kejadian beberapa jam yang lalu.
Rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi
pertiwi. Johny dan Jane dengan segera mengayuh sepeda mereka dengan cepatnya.
Mencoba menghindari jarum-jarum tajam yang mulai meluncur. Kedua anak itu
melaju dengan kencangnya tanpa memperhatikan bunyi klakson dan teriakan dari
warga yang ada di sekitar mereka. Keduanya terus mengayuh sebelum seluruh baju
mereka basah oleh air.
“Minggiiir!!” Johny berteriak keras begitu
mendekati seorang anak perempuan yang tengah berdiri di tengah hujan.
Terlambat. Anak kecil tadi terdorong sepeda Johny hingga dahinya membentur
aspal jalan. Darah segar mengalir deras dari dahi kanannya.
Tanpa butuh waktu lama, beberapa orang telah
mengerumuni mereka bertiga dan membawa ketiganya ke rumah sakit.
“Appa, Eomma!” Jane melonjak dari kursi
tunggu dan berlari menghampiri kedua orang tuanya. Sedangkan Jhon hanya
menunduk di tempatnya. Ia tak tau harus berbuat apa. Gara-gara dia gadis itu
kini harus mengalami penanganan khusus.
&
“Apakah kau sudah baikan?” Jhon berjalan
mendekati gadis kecil yang tengah terduduk di taman. Sebenarnya umur mereka
sama, namun keduanya masih merasa canggung.
Gadis tadi mengangguk. “Sekarang sudah tidak
apa-apa. Tidak usah khawatir.”
“Syukurlah.” Johny tersenyum. “Aku Johny, Johny
Park. Kau?”
Gadis itu menerima uluran tangan Johny. “Aku Frederica.
Frederica Khanza.”
&
“Johny, aku.. Akan pindah ke Amerika.”
“Oppa.. Bangunlah! Ini sudah pagi!” Jae In
berteriak dari balik pintu kamar Jae Kwon. Meskipun tak terdengar jelas, namun
Jae Kwon berhasil terbangun dari tidurnya.
“Aku sudah bangun!” Jae Kwon balas berteriak.
Namun tubuhnya masih tergeletak di kasurnya.
“Baiklah. Aku tunggu di ruang makan!”
Terdengar derap kaki yang mulai menjauh. Jae
Kwon yakin Jae In sedang menuju ruang makan sekarang. Jae Kwon menghela nafas
panjang. Ia hanya menerawang, tidak benar-benar melihat langit-langit kamarnya.
“Rika, apa kabar?”
&
Jae Kwon berhenti melangkahkan kakinya di
sebuah taman bermain di dekat rumahnya. Ia baru selesai mendubbling
salah satu kartun di MBC sore ini. Untung saja hari ini sekolah libur, kalau
tidak ia akan terlihat seperti mayat hidup yang kehabisan energi.
Ia menepakkan kakinya ke permukaan tanah.
Membuat ayunan yang sedang ia duduki mengayun perlahan diantara hembusan angin.
Sudah dua hari terakhir ini ia terus teringat dengan teman masa kecilnya itu.
Jae Kwon kembali menghela nafas. Sejak sebuah surat itu datang..
Tunggu. Surat itu! Jae Kwon mengaduk isi
tasnya bahkan menuangkan isinya pada tanah yang mulai tertutup salju. Ia
menemukannya. Sebuah amplop berwarna biru laut yang tergeletak di samping kaki
kanannya. Ia menatap nama yang tertulis di amplop itu. Frederica? Bukankah
terdengar familiar? Frederica.. Frederica.. Rica.. Rika?
Dengan segera Jae Kwon membuka surat itu. Jae
Kwon masih ingat tulisan tangan Rika. Ia membacanya sekilas. Jae Kwon lega
karena ia masih bisa bahasa Indonesia, juga lega karena surat ini benar dari Rika.
Dear Jae Kwon..
'Kau meninggalkanku’.
Itulah kalimat pertama
yang terlintas dibenakku begitu Jane mengatakan kau sudah pindah ke Seoul.
Aku
terus berusaha membencimu kala itu, namun percuma. Aku tak pernah bisa
membencimu. Karena pada akhirnya, kaulah yang harusnya membenciku. Karena aku
meninggalkanmu.
Ingatkah kau? Enam
tahun lalu kau menabrakku dan terus-menerus menangis. Aku ingin tertawa saat
itu, namun bibir ini terasa kelu. Atau mungkin saat aku mengatakan aku akan ke
Amerika, aku ingin menangis, berteriak, bahkan aku membenci ayahku karena
membuatku terpisah darimu.
Pertemanan kecil itu,
aku tersenyum sendiri mengingatnya. Aku sempat berpikir, apakah kau masih
mengingat diriku? Meski aku tahu jawabannya.. Bahwa kau takkan pernah
memikirkanmu.. Karena aku bukan apa-apa bagimu.
Johny Park, maafkan
aku karena bertindak naif dan egois. Maafkan aku karena telah berburuk sangka
padamu. Dan maafkan aku, karena aku menyukaimu.
Tidak apa-apa jika kau
membenciku. Gadis bodoh seperti diriku memang pantas dibenci bukan?
Namun aku ingin kau
tau, bahwa aku disini selalu menyayangimu. Aku menyayangimu hingga aku tak bisa
membencimu. Aku menyayangimu hingga aku merindukanmu.
Aku menyayangimu
hingga membuat aku menyukaimu.
Johny Park.. bukan..
Park Jae Kwon..Terima kasih atas
pertemanan singkat yang kau berikan.
Selamat tinggal.
Frederica
Jae Kwon terhenyak. Ia hanya terdiam membeku
di tempatnya. Tangannya menggenggam erat kertas itu, membuatnya lusuh. Tak
sepatah katapun keluar dari mulutnya. Namun hatinya terus berbicara. Hingga tanpa
ia sadari, air matanya mulai menetes. Membasahi kertas putih bertuliskan tinta
hitam itu.
“Aaaaaaaaaaaaa.................” suara itu
keluar begitu saja dari mulut Jae Kwon. Sangat keras. Namun tetap saja ada yang
mengganjal di hatinya.
Jae Kwon memutar amplop biru tadi. Salju
pertama bahkan mulai turun bersamaan dengan aliran air matanya. Pasti ada
disini. Dan benar. Ada alamat yang tercantum. Jae Kwon membaca alamat itu.
Gangnam? Bukankah? Jae Kwon membaca ulang alamat itu. Benar. Rumah Sakit
Gangnam.
&
Jae Kwon berlari kencang di tengah lorong
berdinding putih gading. Ia mengabaikan para perawat dan pengunjung yang
memperingatinya. Seperti deja vu.
“Minggir!” Jae Kwon berteriak ketika seorang
gadis hendak melewati lorong itu. Beruntung gadis itu segera memundurkan kursi
rodanya hingga Jae Kwon tak jadi menabrak gadis itu.
Jae Kwon terus berlari dan berlari. Satu
lantai lagi dan dia akan sampai di ruangan Rika. Sebenarnya bisa saja Jae Kwon
menaiki lift. Tapi fikirannya sedang tidak beres kali ini.
“Rika!” ucap Jae Kwon begitu memasuki sebuah
ruangan di ujung lorong lantai tiga ini. Kosong.
“Ah, anda mencari Nona Frederica? Dia baru
saja turun. Katanya mau mencari udara segar.” Ucap seorang perawat yang
kebetulan hendak membersihkan ruangan Rika.
Jae Kwon mundur beberapa langkah lalu
menundukkan badannya, “terima kasih.”
Ia kembali berlari melalui anak tangga yang
tersusun rapi menuju taman kecil yang berada di tengah rumah sakit kecil itu.
Benar. Seorang gadis tengah terdiam disana. Telinganya difokuskan pada
nada-nada yang mengalun melalui headphonenya. Sedangkan matanya
digunakan untuk memandangi puluhan butir saju yang terjun bebas disekitarnya.
Jae Kwon berjalan mendekati gadis itu. Rambut
hitam itu.. Bukankah itu gadis yang hendak Jae Kwon tabrak tadi? “Rika..” Gumam
Jae Kwon pelan. Ia terus berjalan hingga ia berada tepat di belakang gadis itu.
“Frederica..” ucapnya lagi.
Gadis itu kembali mendongak. Seorang pria
yang seumuran dengannya tengah tersenyum menatapnya. Senyum itu.. “Johny..”
“Hai! Apa kabar?” Jae Kwon berjalan hingga
kini ia bisa berhadapan dengan Rika. Lagi, air matanya menetes. Mungkin hari
ini ia akan beralih menjadi pria cengeng. Bukan pria yang terkenal akan tawanya
seperti di sekolah.
Rika segera memeluk pria yang ada di depannya
itu. Ia terisak pelan. Ia membiarkan lagu Memories milik Super Junior
untuk terus mengalun di telinganya. Ia ingin terdiam seperti ini untuk lebih
lama lagi. Tapi, ada sebuah desakan yang meminta keluar dari dalam tubuh Rika. Ia
akan keluar lagi. Gumam Rika dalam hatinya. Namun ia membiarkannya, ia
benar-benar merindukan Jae Kwon. “Selamat tinggal.. Park Jae Kwon.” Rika
tersenyum tipis sebelum semuanya gelap.
Jae Kwon melepas pelukannya. Ia berubah
panik. Beberapa tetes darah mulai keluar dari hidung dan sudut bibir Rika.
Tanpa banyak bicara, ia segera membawa Rika kembali ke kamarnya.
&
Jae Kwon terdiam. Begitu pula dengan wanita
paruh baya yang kini mendekati kepala lima yang ada di sebelahnya. Lima belas
menit telah berlalu. Namun belum ada kepastian dari pihak dokter.
“Rika.. Apa yang terjadi dengannya?”
Pertanyaan Jae Kwon memecah keheningan di lorong itu.
Wanita itu terlihat menahan tangisnya. Ia
hanya menunduk dan bergumam pelan. Namun gumaman itu terdengar sangat jelas di
telinga Jae Kwon.
“Hemofilia? Tidak mungkin. Hemofilia tidak
menyerang wanita!”ucap Jae Kwon sedikit membentak. Ia merasa kacau. Enam tahun
berlalu tapi ia tidak tau apa-apa tentang penyakit Rika? Menyedihkan. Bahkan ia
pernah membuat penyakit itu kembali di tubuh Rika.
Wanita itu menghela nafas, meskipun isakan
kecil masih terdengar. “Hemofilia bisa menyerang wanita. Namun hanya beberapa.
Dan Rika bagian dari penderita itu.”
Mereka kembali terdiam. Jae Kwon
menggosok-gosokkan kedua tangannya. Ia lupa memakai jaket saat berlari kesini.
Mungkin tasnya juga tertinggal di taman. Tapi itu tidak penting sekarang,
sekarang yang terpenting adalah keadaan Rika.
Tak butuh waktu lama, pria dengan jas putih
yang melekat di tubuhnya. “Dia sudah sadar. Tapi kondisinya sangat lemah.
Hemofilia yang dideritanya sudah sangat parah. Kemungkinan Rika masih tinggal
hanya tinggal beberapa jam saja.” Dokter itu mencoba tersenyum, berusaha
menyalurkan semangat pada ibunda Rika yang tengah tertunduk lesu sekarang.
Jae Kwon melihat dokter itu berlalu. Ia menatap
nanar pada Tante Gisel. Ia tersenyum simpul, sebelum melangkahkan kakinya
menuju sebuah kamar. Kamar dengan sesosok wanita yang sempat membuat dirinya
terluka.
“Rika..”
Gadis yang sedang terbaring itu tersenyum. “Jho..
Jae Kwon..” Ia bergumam.
Jae Kwon perlahan duduk di sebuah bangku yang
berada di samping ranjang itu. Tanpa perlu dikomando, tangannya telah
menggenggam erat sesuatu yang terasa dingin bagi sebagian orang, namun
menimbulkan getaran hangat bagi Jae Kwon. “Terima kasih..”
Gadis itu menggeleng, tanda tak setuju. Ia
kembali tersenyum dan menggumam. Entahlah apa yang diucapkan Rika, karena pada
saat itu juga deru nafasnya telah terhenti.
Jae Kwon menunduk tanpa melepas genggamannya,
justru mempereratnya. Untuk terakhir kalinya, biarkan aku menggenggam erat
tanganmu.
&
Jae In bertingkah seolah dirinya sebuah
setrika panas yang sedang memperlicin pakaian-pakaian lusuh. Malam telah
berlalu bahkan sebentar lagi pagi akan datang. Tapi Jae Kwon menghilang entah
kemana. Ia telah menghubungi nomornya, namun gagal. Panggilan ditolak.
“Oppa, dimana kau?” Ia mendesah pelan setelah
melihat jam dinding yang terus berdetak. Untuk kesekian kalinya.
Terdengar pintu terbuka. Diikuti hawa dingin
yang datang sepersekian detik. Jae Kwon! Dengan secepat kilat ia berlari
menuju pintu depan yang sebenarnya berhubungan langsung dengan tempatnya
berdiri sekarang. “Darimana saja kau?”
Jae Kwon segera menghampiri Jae In dan
memeluknya erat. Tangisnya untuk yang kesekian kalinya kembali pecah. Jae In
hanya bisa menepuk pelan punggung kakaknya itu. “Ada apa dengamu?” tanya Jae In
pelan.
“Hari ini.. Aku bertemu.. Cinta pertamaku..”
&
“Johny.. Ah, bukan.. Jae Kwon-a.. Terima
kasih, karena kau mau menemuiku.. Terima kasih karena kau, aku bisa tersenyum
di akhir hayatku..”
“Rika.. Kau
jahat!! Kenapa kau seenaknya pergi begitu aku menemukanmu? Meskipun aku masih
tidak bisa menerimanya.. Tapi aku lega, senang? Entahlah.. Karena kini aku
tau.. Aku tak bertepuk sebelah tangan..”